Jumat, 27 Januari 2012

Menjemput Surga


Senin,22 Nov'10

Sore yang berhujan, jarum masih terpaku di angka lima. Dengan penuh kelembutan kain putih itu kau lipat. Sesaat kemudian menaruhnya di kursi panjang di samping pintu depan. Perlahan kau bergerak ke teras, untuk kemudian duduk di kursi bambu kesukaanmu. Entah apa yang ada dipikiranmu, namun sorot matamu menggambarkan ketidaksabaranmu menunggu panggilan yang setiap menjelang pergantian malam selalu kau nanti.

Hujan perlahan tertahan, satu dua air yang jatuh menapuk genteng membuatmu tergerak masuk kedalam rumah. Tak lama kemudian wajahmu keluar sambil menjijing payung yang kuberi beberapa waktu yang lalu. Di depan pintu kau terlihat tegak terpaku, menatap penuh keresahan saat melihat tanah yang tergenang. Dan kau pun kembali duduk di kursi bambu kesukaanmu. Kau rebahkan punggungmu di sandaran kursi  yang setia menahanmu. Tatapanmu sedikit terdongak. Raut wajamu menandakan garis-garis kehidupan yang telah engkau lalui. Beberapa helai hitam rambut sekilas menghiasi warna putih yang sudah menutupi semua rambut yang masih tertahan melekat dikepalamu.

17.15
Rintik hujan masih terdengar samar membelai genteng. Kau tersenyum, saat si putih (kalo aku menamainya Snow white) mendekat untuk kemudian mengusap-usapkan kepalanya di kakimu. Tak kalah kemudian si hitam meloncat naik untuk duduk  di sampingmu. Mereka begitu setia mengikuti kemana langkah mu terayun. Merekalah yang membuat kau tertawa, tersenyum bahkan sekali-kali mengomel saat mereka mengacaukan dapur.

17.20
Kau masih terduduk di kursi bambu kesukaanmu, ditemani dua kucing kesayangan. Tatapanmu kosong. Raut yang tertutup garis-garis usia menujukan betapa tidak mudah hidup yang kau jalani.
Terbayang dibenakku, 50 tahun yang lalu. Saat bayi perempuan cantik yang lahir dari rahimmu. Saat itulah surga mulai diletakkan di telapak kakimu. Bayi perempuan yang di usianya kurang lebih 23 tahun kemudian juga diletakkan surga di bawah kakinya  saat ia melahirkan seorang bayi perempuan yang dua tahun lebih dulu lahir sebelum aku.
Entah apa yang ada dibenakmu, saat teringat bayi perempuan yang kau lahirkan 50 tahun yang lalu. Yang ternyata lebih dulu berpulang kepada –Nya. Padahal aku sangat tahu, seandainya bisa, kau akan meminta pada-Nya “kenapa bukan aku yang Kau ambil lebih dulu?” dan meminta pada-Nya agar dirimu menjadi penggantinya. Tanpa sadar air mata berlinang di mataku. Mengingat perempuan yang terlahir dari rahimmu itu adalah perempuan lembut yang melahirkan aku.

17.30
Denyit kursi bambu terdengar saat kau mengangkat tubuhmu yang renta. Dengan sisa-sisa tenaga kau tapakkan satu demi satu langkah membelah genangan air bekas hujan yang tertahan di tanah. Tangan kananmu memegang erat payung merah, sementara tangan kirimu menjepit kain putih yang terlipat rapi sambil menjinjing kain batik yang melingkar menutup kakimu, agar  terhindar dari air yang terloncat saat kau melangkah. Ayunan yang tertatih tapi penuh kepastian menuju tempat panggilan yang kau rindu sedari tadi. Di belakangmu si hitam meloncat-loncat mengikuti gerak langkahmu sambil menghindari gemercik genangan air yang tercipta saat langkahmu jatuh. Snow white seperti biasa hanya menghantarmu dari teras lewat tatapan matanya.

17.40
Panggilan itu sudah menggema lalu menghilang berganti dengan kidung-kidung pujian. Si hitam mengambil tempat di pojok teras tempat panggilan itu berasal, lalu duduk. Matanya bergerak mengikuti langkahmu. Kau berhenti. Menunduk, melepaskan kakimu dari sandal jepit warna hijau yang telah pudar, menjinjingnya, untuk kemudian membasuhnya setelah kau membersihkan kakimu.
Kau lalu melipat lengan kebaya di kedua tanganmu. Menegadah sesaat, sambil berucap dalam hati. Sekejap lalu menyucikan wajah, tangan, rambut, kuping dan kaki. Setelah itu bergabung dibarisan serba putih disamping kiri. Barisan itu sudah berkurang satu,  sejak sebulan yang lalu, saat nini sirol salah satu teman di usia senjamu berpulang kepangkuan-Nya. Entah kapan giliranmu. Tapi aku tahu, dan sangat tahu. Kapanpun itu, kau tak pernah peduli. Karena di usia rentamu kau tak pernah berhenti untuk menambah cintamu pada-Nya, menumpuk rindu untuk-Nya. Di sisa-sisa waktumu kau selalu resah menunggu waktu untuk bertemu dan bersujud dirumah-Nya. Langgar kecil itu telah puluhan tahun menjadi saksi, bahwa kau sang Nenek-ku tercinta dengan tubuh yang renta dan langkah-langkah yang sangat rapuh sedang membangun jembatan untuk menjemput surga…

Love u nek..!

r32.pete

Elegi Untuk Ara si pohon Ara


Ara si pohon ara,begitu dari kecil aku memanggilnya. Ara temenku seperti pohon ara yang tinggi, kokoh, dengan daunnya yang rindang berikan keteduhan buat siapa saja yang ada didekatnya. Belum lama rasanya, ara datang padaku. Tertunduk, dengan mata yang berkaca-kaca. belum satu kata yang terucap, bening air yang tertahan di matanya terhambur keluar. Deras mengalir, menetes membasahi kaos yang dipakainya. Amarah itu menggumpal, menjadi pekat untuk semakin dalam membenci sang Ayah tercinta.

Tak pernah terbayang oleh ara, kalo hubungan yang sudah akan bersambung ke pelaminan harus rusak, untuk kemudian hancur berserakan, dengan menyisakan keping luka dan deraian kesedihan mendalam bagi ara.
Ara hanya terdiam, untuk kembali tertunduk. Matanya sayu menatapku. Aku heran, tak pernah terlintas dibenak. Semua yang sudah tertata rapi, semua yang sudah lama terencana dengan baik oleh ara, harus lebur karena Ara lahir di hari yang salah, atau mungkin mas ovi lah yang memilih salah hari kelahirannya.

 Ya, tanggal lahir merekalah yang membuat orang tua Ara tidak mengizinkan mereka untuk menikah. Tanggal lahir mereka tidak sesuai, perhitungan tanggal lahir mereka tidak baik,mereka tidak cocok. bila dipaksakan akan mendapat banyak masalah yang kelak muncul bila menikah. Dengan berat hati orang tua ara tidak mengabulkan, malam saat mas ovi datang kepada ayah dan ibu ara. Mas ovi terhenyak, wajahnya terpana seolah mati rasa. Jantung ara terasa terhenti, saat kata “tidak” mencuat dari Ayahnya. Ara terlungkup membentur lantai. Mas ovi berlari  menerjang malam. 

6 tahun? bukan waktu yang singkat untuk menyatukan langkah hingga mereka akhirnya yakin untuk mengakhiri di pelaminan. tapi semua lebur, semua menguap, semua percuma dan sia-sia. hanya karena mereka lahir di hari yang dianggap tidak membawa keberuntungan buat mereka.

Tak pernah ada kabar tentang mas ovi, tak ada yang tahu keberadaannya. Bahkan orangtua mas ovi-pun berkali-kali datang bertanya tentang anak laki-laki mereka. Sejak malam itu, mas ovi seperti hilang di telan bumi. Semua teman-teman dekatnya tak satupun yang pernah bertemu. mas ovi seperti terbawa gelap malam itu. Dan  tertahan disana.
Mas ovi tak pernah kembali menemui ara.

Polisi pun akhirnya tergerak untuk mencari laki-laki yang telah menjadi cinta sejati ara. Saat hari terlewati, bulan terlampaui, mas ovi yang selalu memberi rasa bahagia buat ara tak pernah ditemukan. Orang pintar-pun seolah tak mampu membuka tabir keberadaan sang lelaki sejati milik ara itu. Entahlah, begitu banyak kabar yang beredar dan cerita yang berbisik, yang makin membuat ara tertekan. Tersudut. Dan terpasung dalam kemarahan dan kebencian pada mereka yang menyebabkan semua ini terjadi.

Ara si pohon ara, yang biasanya selalu tegar, kokoh. kini merintih dalam kerapuhan. Ara tidak bisa menerima alasan orang tuanya. Ara berontak. Jiwanya penuh gelegak, meletup-letup dan siap meletus.

"bukankah Allah tidak pernah membedakan hari?semua hari adalah baik. terlebih bulan romadhon?" ara menatapku tajam. Ya, Ara Romeisa Masura. Ara adalah pohon besar, kokoh dan rindang yang tumbuh di dekat lapangan tempat kami bermain. Romeisa adalah Romadhon bulan mei tangal sembilan,bulan dan tanggal lahir Ara. Masura adalah sang ayah. Nama yang sangat indah dan penuh makna.

"apa yang salah dengan hari lahirku?"ara meratap.

Ara lalu berguman, berguman dan terus berguman. Setiap hari setiap saat. Dan selalu seperti itu. Satu kali Ara terlihat tersenyum. Kadang tertawa lepas. Tatapannya sendu. Tapi Ara tidak lagi mengenalku. Semua yang diliatnya kosong. Ara tak bisa lagi mendengarku, karena dia tak pernah tau lagi apa yang dibicarakan orang. Ara juga tidak pernah tau lagi siapa dirinya.

Dengan penuh penyesalan dan linangan airmata, orang tua ara akhirnya memasukan ara sahabatku ke rumah khusus bagi mereka yang menderita gangguan jiwa. Letupan itu tak kuat dibendung olehnya. Menghancurkan pembuluh yang menjalar di sekujur tubuhnya. Ara menjelma menjadi raga tanpa jiwa. Jiwa itu mungkin melayang terombang-ambing mencari dan akan terus mencari belahan jiwa yang lain, jiwa yang begitu kuat di cintainya. Cinta yang sebenar-benarnya cinta, cinta yang selama 6 tahun begitu dibanggakan olehnya.

Ya, Ara si pohon ara, temen ku yang dulu tegar dan  kokoh, akhirnya tumbang jiwanya hanya karena dia lahir di hari yang salah.

Love U Ara, selalu. Walau kau tak lagi mengenalku. Kau slalu jadi sahabat terbaikku.

r32.pete

Hadiah Untuk Ibu Guru Ferina


Andita berjalan pelan, langkah-langkah kecilnya terasa sedikit terseok. Jalan kecil yang berbatu membuat kaki mungil itu kadang menjinjit menahan tusukan batu lancip di tanah. Andita kemudian menepi di bawah pohon rindang tempat ia biasa melepas lelah. Disandarkan tubuh kecil itu di pohon. Perlahan tangannya yang mungil menyapu keringat yang menetes didahinya. Di tariknya napas dalam-dalam. Matanya menerawang jauh. sorotnya terlihat menyimpan sebuah kegelisahan.

Masih terngiang di telinga. Saat anak-anak kelas 3 di kelasnya bersemangat menyambut esok kamis. Andita tidak tahu harus memberi apa untuk ibu ferina, guru kelasnya yang akan berpindah kota. Ya, besok hari kamis adalah hari perpisahan kelas 3 dengan guru wali kelas yang sudah hampir satu tahun mengajar andita dan temen-temennya.

Ibu ferina lah yang memberikan tas cantik warna biru yang di pake andita. Emak tak kuasa menahan tangis kala andita berlari pulang tanpa henti dari sekolah yang berjarak tiga kilometer dari rumah saat akan mengabarkan kegembiraan. Andita meraih rangking satu. Dan atas prestasi tersebut, andita mendapat hadiah dari ibu guru ferina sebuah tas cantik berwarna biru, warna yang paling di sukai andita.

Emak memeluk erat putri kecilnya. Menciumi andita. Airmata emak tak terhenti saat andita mencoba menyandang tas biru cantik itu di depan emak. Emak sekejap langsung mendekap erat andita dan tas birunya. Sudah lama andita minta dibelikan tas untuk sekolah. Tas yang dibelikan almarhum bapak waktu pertama kali andita sekolah terlihat sudah lusuh, dan beberapa bagiannya sudah robek. Tapi andita tak pernah protes. Gadis kecil itu sadar, emak tak mampu untuk membelikan tas baru untuknya. Dan alangkah bahagianya andita dan emak mendapat hadiah istimewa itu. Bagi mereka ini adalah sebuah anugerah. Walaupun hanya berupa sebuah tas. Emak kemudian bersujud di tanah. Menunjukan rasa syukur yang mendalam atas kebahagian putri kecilnya.

oooOOooo

Ada rasa sesak di dada andita saat ibu ferina mengabarkan bahwa ibu guru yang cantik dan baik hati itu harus bertugas di kota lain. Andita tercenung. Emak pun terlihat sedih. Emak tak bisa membayangkan putri kecilnya tak lagi bisa bercerita tentang ibu guru idola putrinya tersebut. Hampir satu tahun ini, rumah berdinding bambu itu selalu di penuhi cerita-cerita indah ibu guru ferina. Ibu guru yang selalu membuat andita bersemangat ke sekolah. Sosok ibu guru yang memotivasi andita untuk selalu belajar dan belajar. Andita kelak ingin seperti ibu guru ferina. Mengajarkan ilmu kepada anak-anak, mengajak anak-anak untuk berbuat kebaikan. Dan tentunya ingin membahagian emak tercinta. Emak yang telah bersusah payah setiap hari. Berjalan keliling menawarkan sayuran hasil kebun kecil, kebun peninggalan almarhum bapak di sebelah rumah bambu yang sudah reot itu.


Malam selepas isya, emak melongok ke bilik andita. Terlihat putri kecilnya baru saja melipat mukena dan meletakannya diatas sajadah tua milik almarhum bapak. Dalam hati, emak bersyukur putrinya selalu tertip melaksanakan sholat 5 waktu. Andita berusia tujuh tahun saat bapak meninggal karena sakit dua tahun lalu. Bapak bersikeras untuk tidak mau dibawa kerumah sakit. Padahal emak sudah rela kebun kecil disamping rumah dibeli pak mahmud, dan uangnya bisa digunakan untuk biaya berobat bapak. Kebun itulah yang sekarang menjadi sumber penghidupan emak dan andita. Sehabis jualan sayur, emak bekerja di rumah pak mahmud. Tak jarang sepulang sekolah andita ikut membantu emak di rumah pak mahmud.

Keprihatinan hidup ternyata membuat andita menjadi lebih bijak dari usianya yang baru 9 tahun. Andita sudah terbiasa menanak nasi seusai sholat subuh. Menumis bayam atau kangkung untuk sarapan. Membantu mengikat sayuran yang akan dijual emak. Lalu membersihkan rumah kecil beranyam bambu itu. Kemudian bergegas mandi, sarapan, dan pukul 6 bersiap kesekolah. Jarak 3 km ke sekolah setiap hari ditempuhnya dengan berjalan kaki.


Pagi itu, di tengah perjalanan ke sekolah andita menghentikan langkahnya. Untuk kemudian menepi, sesaat dibukanya tas biru hadiah dari ibu ferina. Tangannya pelan meraih kotak yang sudah dibungkus rapi dengan kertas kalender usang. Ada perasaan ragu di hati andita. Perasaan takut. Perasaan malu. Bukankah selama ini ibu guru ferina sangat baik. Pasti temen-temen andita telah menyiapkan kado yang bagus sebagai ucapan terima kasih kepada ibu ferina.

Andita bimbang. Hati kecilnya memaksa dia untuk tetep ke sekolah. Karena hari ini adalah untuk terakhir kalinya ia bisa melihat ibu ferina di kelas. Tapi perasaannya seperti ingin menggerakkan kaki andita kembali pulang. Langkah andita pun mengambang. Tak seperti biasanya, pagi itu langkah kaki kecil andita bener-bener tidak yakin.

Hingga akhirnya kaki-kaki mungil itu bergerak perlahan menuju sekolah. Apapun  isi kado itu, yang pasti ia harus memberikannya kepada ibu ferina. Sesampai di kelas, riuh suara temen-temen andita. Setiap anak merasa menyiapkan kado terbaik untuk ibu ferina. Tak ada yang mau kalah. Semua merasa kado-nyalah yang paling indah. Andita terdiam. Hatinya kecut melihat bermacam-macam warna kado itu. Ia berjalan pelan menghindar kerumunan dan mengambil tempat duduk yang kosong di sudut kelas.

Hingga tiba saatnya ibu ferina berpamitan. Satu persatu anak di kelas maju menyalami ibu ferina sambil memberikan kado yang telah terbungkus dengan kertas warna-warni yang indah. Tak terasa semua anak sudah menyerahkan kenangan untuk ibu ferina. Hingga,

“andita…” pelan suara ibu ferina. Andita tersentak kaget. Hatinya kembali menciut. Gadis kecil itu beranjak ke depan. kedua tangannya menyembunyikan kado kecil di punggungnya. Anak-anak lain terdiam menatap langkah andita yang sedikit tertahan.

Di ciumnya tangan ibu ferina. Gemetar tangan andita saat menyerahkan kado yang sudah di persiapkan sedari tadi malam. Perlahan ibu ferina membuka kotak kado tersebut. Andita tersenyum getir, saat melihat macam-macam hadiah yang sudah di berikan oleh temen-temennya. setiap hadiah dibuka langsung usai diterima. Ibu ferina ingin tahu makna hadiah yang diberikan oleh anak-anak. Ada yang memberikan pulpen berwarna emas, boneka, cincin perak, mukena, kerudung dll. Semua bagus. Kecuali,

“andita…” lembut tatapan ibu ferina. Andita menunduk dan semakin menunduk. Anak-anak tertawa saat  melihat kotak bekas kardus lampu pijar 5 watt  itu ternyata tidak berisi apa-apa. Kosong!
Airmata andita tak tertahan. Jatuh menetes. ia tertunduk,
“ma..maaf bu, andita tidak bisa memberikan hadiah seperti yang temen-temen berikan..” andita terisak.
“kotak itu tidak kosong..” sambungnya.
“tadi malam andita meletakan cinta dan sayang andita untuk ibu guru di kotak itu..”
Ibu ferina tercekat!
kemudian secepat kilat di dekap erat andita. Dicium murid terbaiknya itu. Air mata guru baik hati itu terburai. Ibu guru itu menangis. Tak menyangka gadis kecil berusia 9 tahun itu begitu mulia. Baginya tak ada hadiah yang paling indah selain bingkisan cinta dan sayang dari andita!


A love for Andita, keep smile little girl!

r32.pete

Laki-laki Yang Benar-benar Banci!


Perempuan itu duduk bersandar di bawah pohon peneduh di pinggir jalan. Tak ada yang memperhatikannya. Dia meracau. Namun, tak ada yang mengerti dengan jeritannya. Nada yang keluar dari mulutnya tak beraturan. Suara itu bahkan tak berbentuk kata, sehingga orang-orang yang ada di pertigaan sebelah barat jembatan Prembun itu tak ada yang terusik dengan perempuan di bawah pohon itu.

Ia kembali meracau. Makin lama makin keras. Suara yang keluarpun mengisyaratkan rasa sakit yang mendalam. Orang-orang yang menunggu bis dan angkutan pun sedikit menoleh. Ya, hanya sedikit menoleh. Orang-orang yang beranjak pulang dari sawahpun seakan tak melihat keberadaannya.

Hingga, saat seorang ibu yang lewat persis di samping pohon ikut terkaget. Kemudian berteriak meminta tolong. Ibu itu secepat kilat menghambur ke barisan tukang ojek yang ada di pangkalan. Kemudian menarik ibu pemilik warung di pertigaan jalan antara Prembun dan Kutowinangun, Kebumen itu.

Sekejap orang-orangpun berlari ke arah perempuan yang sedang bersandar di pohon pinggir jalan itu. Mereka berkerumun. Sebagian laki-laki terlihat memalingkan muka, dengan roman yang bergidik. Hanya ibu-ibu yang kemudian sibuk menenangkan perempuan  muda itu.

Bapak-bapak di pangkalan ojek bergegas mengatur laju kendaraan yang lewat di jalan raya antar propinsi jalur selatan jawa itu. Kemacetan terjadi, saat ibu-ibu yang histeris kala melihat apa yang tengah terjadi dengan perempuan yang sudah terlihat lelah itu. Sebagian ibu-ibu menangis. Ada yang hanya terpaku dengan berjuta Tanya. Ada yang terhenyak, untuk kemudian berlari dari kerumunan. Ada yang menutup muka, lalu pergi begitu saja.

Beberapa Ibu-ibu itu kemudian kompak membantu sang perempuan. Terlihat beberapa tukang ojek menghentikan sebuah mobil pick up putih yang lewat. Bapak yang berbaju hitam berbicara ke sopir. Sang sopir mengangguk. Sejurus kemudian menepikan mobilnya persis di samping pohon tempat perempuan itu terduduk lemas dan mengerang-erang.

Ibu-ibu dan tiga orang bapak lalu mengangkat perempuan itu. Terlihat ada darah yang mengalir di sela-sela kaki perempuan yang kumal itu. “ya tuhan!” perempuan itu sedang melahirkan. Dia berteriak tak menentu. Tak jelas kata yang keluar dari mulutnya. Sesaat komat-kamit sambil memegang perutnya. Darah yang keluar dari sela-sela pahanya makin banyak. Teriakannya makin keras. Suaranya makin lantang terdengar. Makin membuat suasana mencekam. Kemacetanpun makin menjadi di sore yang penuh mendung itu.

Diatas pick up putih dia berbaring. Beberapa ibu-ibu berusaha memegang kedua tangannya. Menenangkannya. Semua orang yang ada disana terpana. Terpaku ditempat. Seolah tak percaya apa yang baru saja terjadi.

Senin, 25 April’11.
16.30 wib

Trenyuh! Sore itu langit gelap bermendung. Entah setan apa yang ada di benak laki-laki itu. Laki-laki yang tak bermoral. Tak bertanggung jawab. Entah mengapa aku tiba-tiba sangat membenci laki-laki yang harusnya menemani perempuan itu di saat-saat akan mengantarkan sang bayi ke dunia. Laki-laki yang tak berhati. membiarkan perempuan itu melahirkan di bawah pohon pinggir jalan.

Perempuan itu sering terlihat berjalan tak beraturan di tepi jalan raya di pertengahan Desa Ungaran dan Desa Tersobo. Kadang menusuri sisi utara, melangkah gontai ke arah timur. Tak jarang aku bertemu saat perempuan itu berbalik arah menuju barat.

Usianya kurang lebih 25 tahun. Dari garis wajahnya terlihat jelas. Kalo perempuan itu terlahir sebagai perempuan cantik. Rambutnya yang panjang sebahu menegaskan itu. Tapi keadaannya yang sekaranglah yang membuat semua kecantikannya terkubur oleh guratan panas matahari, tertutup debu jalanan dan berhias asap bis-bis yang melaju ganas. Pakaiannya,longdress merah marun, terpasang hanya menutupi dari dada sampai ke bawah. Baju yang kumal itupun sudah tak berbentuk lagi. Kakinya yang jenjang tak pernah beralas, sudah berbaur dengan lumpur dan tanah.

Tak ada yang tau siapa dan darimana perempuan itu. Bahkan mungkin perempuan itu sendiri tak tahu siapa dirinya. Ada banyak cerita yang menerka-nerka tentang perempuan itu. Dia ditinggal oleh  laki-laki yang menghamilinya. Karena tak tahan menahan beban, aib dan malu, dia lalu terbuang dari keluarganya. Kemudian dia berjalan hari demi hari tanpa arah dan tujuan. Dia berjalan dan terus berjalan. Tak mengenal lelah. Tak mengenal waktu. Dan akhirnya tak lagi mengenal dirinya. Dia menjadi “si perempuan gila”. Itu panggilan terakhir yang didapatnya dari orang-orang yang ada disekitar tempat dia berlalu..

Pernah aku melihat dia tertawa dan bersenandung. Di tangannya ada ranting pohon yang masih berdaun hijau. Dia berjalan terlihat bahagia. Tapi tak jarang aku melihat dia berjalan sambil tersedu. Dengan sorot mata yang terus mencari dan mencari. Harapannya mungkin cuma satu, menemukan laki-laki yang seharusnya menjadi belahan jiwanya, bersama membesarkan sang calon bayi. Tapi entah mengapa laki-laki itu pergi.

Mungkin laki-laki itu tak pantas di sebut laki-laki. Laki-laki itu lebih pantas di sebut sebagai laki-laki yang bener-bener banci. Yang tak berani bertanggung jawab. Tak bermoral. Atau bahkan tak pantas untuk hidup. Seharusnya laki-laki itu di telan bumi. Biar  terbakar di neraka. Nerakapun mungkin tak rela menerima laki-laki itu. Laki-laki itu seharusnya tak pernah ada. Dia hanya menciptakan sakit. Dia hanya melahirkan kesedihan bagi perempuan. Dia hanya…., dia hanya…,dia hanya laki-laki biadab!.

Aku jadi teringat, dulu ketika seorang teman perempuan bertanya
“ mengapa mesti perempuan yang menjadi korban laki-laki?”
Waktu itu aku tak bisa menjawab. Kali ini pun aku hanya terdiam. Tak pernah bisa menjawab. Hanya geram yang meletup. Laki-laki yang seperti itu memang laknat terkutuk!
Aku hanya bisa berguman lirih “laki-laki itu bener-bener banci!”


sebuah elegi buat si perempuan gila yang sudah menjadi bagian dalam perjalananku setiap hari saat berangkat dan pulang dari kantor. aku tak tau bagaimana nasib anak yang dilahirkannya. semoga ada yang berbaik hati mengadopsi bayi yang sudah dibawanya ke dunia.
tulisan ini sebagai bentuk respect ku, rasa hormatku kepada perempuan. karna perempuanlah yang melahirkan laki-laki..

r32.pete

Cinta Fadil Untuk Tiara


Fadil menarik napas dalam. Kembali ia harus menerima sesak di dada saat mengutarakan keinginan hatinya. Sudah kali ke tiga ia mengajak Tiara menikah. Tiga kali pula ia menelan jawaban pahit.

Dengan lunglai ia melangkah menjauh dari gerbang Panti Asuhan Amanah. Tempat ia dan Tiara dibesarkan. Tiara masih tinggal di Panti. Ia menjadi pengasuh bagi adik-adik disana. Sementara Fadil sudah  dua tahun ini tinggal di sebuah rumah kos yang tak begitu jauh dari Panti Asuhan. Fadil bekerja di sebuah bengkel motor di dekat pasar Prembun.

Dua puluh tiga tahun yang lalu, Fadil dan Tiara untuk pertama kalinya bertemu di Panti Asuhan. Kedua orang tua Fadil sudah meninggal. Ia menjadi sebatang kara kala paman dan bibinya meninggal dalam kecelakaan. Sementara Tiara, sejak bayi tidak pernah tau siapa orang tuanya. Mereka kemudian dititipkan di Panti Asuhan Amanah. Sebuah panti asuhan yang tidak begitu besar di Desa Ungaran, Kecamatan Kutowinangun, Kabupaten Kebumen.

Di panti asuhan itu mereka tumbuh bersama hingga mereka dewasa. Tiara adalah tempat terbaik buat Fadil untuk berbagi. Saat hatinya sedih, hanya Tiara yang selalu menghiburnya. Bagi Tiara, Fadil adalah penuntun dan pelindung. Fadil lah orang pertama yang akan melindunginya kala anak-anak lain mengganggu. Mereka tak terpisahkan. Hingga perasaan mereka menjadi satu. Fadil menyayangi Tiara. Pun Tiara begitu mencintai Fadil. Namun, keinginan Fadil untuk menikahi Tiara selalu kandas. Karena satu keinginan Tiara yang membuat hati Fadil harus terpatahkan. Tiara akan menikah bila ia bisa melihat dunia yang indah.

Tiara mengalami kebutaan sedari bayi. Ada kelainan dikedua retina matanya. Kedua matanya tidak bisa merespon cahaya yang masuk. Sehingga semua bayangan tak pernah bisa diterima oleh matanya. Dunianya pun menjadi gelap.

Oooo

Dua bulan sudah Fadil tidak pernah datang ke Panti Asuhan. Ada kerinduan mendalam di hati Tiara. Kerinduan yang berdampingan dengan perasaan sesal. Ia menyadari, pertemuan terakhir telah membuat Fadil berduka. Ia tak menyangka, kali ini Fadil benar-benar menjauh. Fadil adalah cinta sejati bagi Tiara. Fadil lah yang selalu menggandengnya kemanapun ia melangkah. Fadil bak malaikat penunjuk jalan bagi tiara.

Di pagi yang dijatuhi gerimis, Tiara terdiam duduk menghadap jendela. Angin yang membaur dengan bintik hujan terasa dingin menyentuh kulitnya. Biasanya Fadil akan datang, untuk kemudian menutup jendela dan mengajaknya beranjak dari pojok ruang dapur Panti Asuhan itu. Kali ini Fadil tak datang. Hingga  sebuah kabar gembira datang. Ibu Aisah kepala Panti Asuhan menerima telpon dari Dokter Feri. Doa yang selalu dipanjatkan Tiara akhirnya dikabulkan.
Dokter Feri akan mengoperasi mata Tiara. Semua biaya akan ditanggung oleh Bapak Haji Abdul pemilik Yayasan. Berita yang lalu disambut suka cita seluruh penghuni Panti. Tiara tak kuasa menahan haru. Ia akan segera bisa melihat dunia. Perasaan bahagia yang juga melahirkan rasa sedih. Sedih karena Fadil tak ada saat ia mendapat kabar indah ini. Fadil menghilang. Tak satupun penghuni Panti tahu keberadaannya. Fadil tak lagi bekerja di bengkel. Ia seperti pergi entah kemana. Tak ada yang melihatnya sejak dua bulan lalu.

Oooo

Satu bulan pasca operasi dan terapi. Mata Tiara akhirnya dinyatakan sembuh sempurna. Ia kini bisa melihat seisi bumi. Matahari yang bersinar, bunga yang beraneka warna, rumput yang menghijau, burung yang terbang. Semua menjadi anugerah yang indah bagi Tiara. Namun, sesampai di Panti Asuhan Tiara tak jua bertemu wajah yang selama ini hanya dikenali lewat suara. Fadil tak ada disana untuk menyambut kedatangannya dari Rumah Sakit.

Beberapa hari kemudian.
Keinginan kuat dihatinya untuk bertemu Fadil, membuat Tiara bertemu dengan Ustad Iqbal. Dialah satu-satunya harapan. Karena dulu Fadil sering datang ke Pesantren milik Ustad Iqbal untuk belajar mengaji.

Lepas dari pintu gerbang Pesantren, langkah Tiara yang rapat seketika terhenti. Saat sebuah suara yang kerap didengar menyebut namanya.
“Assalamualaikum Tiara..!”
“Walaikum salam..” sambut Tiara pelan sambil membalik badan.
“Alhamdulillah..Subbahanallah..Tiara sudah bisa melihat..” Usatd Iqbal mengucap syukur.
“Alhamdulillah Ustad..” Tiara tersenyum. Untuk kemudian mencium tangan Ustad Iqbal.
“Ada apa anakku?” Ustad Iqbal melihat kegundahan dalam diri Tiara. Dengan suaranya yang tenang. Ustad yang setiap jumat sore memberi pengajian di Panti Asuhan ini kemudian mempersilahkan Tiara masuk ke ruangan tamu.

Dari sorot mata Tiara, Ustad Iqbal bisa memahami apa yang diinginkan gadis yang sedari kecil dikenalnya itu. Ada perasaan gamang dihati Ustad Iqbal. Fadil pernah meminta kepadanya untuk tidak memberitahu dimana ia berada. Namun, keinginan kuat serta niat baik Tiara yang ingin meminta maaf dan mengajak Fadil menikah. Membuat Ustad Iqbal tak kuasa melawan niat baik Tiara.

Ia lalu mengajak Tiara menuju Mushola kecil bercat hijau yang ada di samping Pesantren. Bunga-bunga indah yang tumbuh memagari jalan setapak berbatu itu tak bisa mengalihkan sedikitpun pandangan Tiara. Ketidaksabaran terdengar dari langkahnya yang cepat. Samar Tiara mendengar alunan ayat-ayat suci Al Quran. Deg! Suara itu? Suara itu begitu dikenalnya. Tiara makin mempercepat langkah. Setengah berlari ia mendahului Ustad Iqbal.

Suara alunan ayat-ayat suci itu semakin merdu. Tiara bergegas mengambil wudhu, kesucian adalah syarat utama memasuki rumah Allah. Tiara tak ingin melanggarnya. Setelah berwudhu, ia berjalan pelan menuju pemilik suara indah itu. Semakin dekat. Serasa semakin bergemuruh jantungnya. Tiara terhenti satu langkah tepat dibelakang sosok yang dirindunya. Perasaan  takjub!. Akhirnya ia bisa melihat orang yang sedari kecil selalu ada disampingnya itu.

 “Fadiil!” suara Tiara penuh bergetar.

Suara lantunan dari sosok berbajuk koko putih itu terhenti. Ia diam tak beranjak. Ia tertunduk tak menoleh. Hingga akhirnya tangan Tiara menyentuh pundaknya.
“Faa fadil…!” suara Tiara sedikit terpatah.

Laki-laki itu kemudian perlahan beranjak. Tangannya terlihat meraba sesuatu, kemudian meraih tongkat yang tak jauh darinya. Penuh perjuangan ia akhirnya berdiri. Menghadap suara yang memanggil namanya.
“Tiara..?”       

Deg! Jantung Tiara seperti berhenti berdetak. Wajahnya memucat. Mulutnya terkunci, tak mampu bergerak. Tangan Tiara kemudian menunjuk Fadil. Ia tak percaya! Ternyata Fadil adalah laki-laki buta sama dengannya dulu. Air matanya membuncah deras. Tiara menangis. Dadaknya sesak. Ia  tak menyangka selama ini Fadil telah berbohong padanya. Yang ia tahu. Fadil adalah laki-laki dengan mata yang sempurna. Yang selalu menggambarkan keindahan dunia padanya.

Fadil pembohong. Fadil pendusta. Tangannya mengarah ke Fadil dengan pecahan air mata.  Tiara kemudian berlari membawa tangis. Ia kecewa. Fadil yang sangat dipercaya. Begitu tega menghianatinya dengan cerita bohong tentang bunga yang mekar, tentang matahari yang jingga, tentang kupu-kupu yang berwarna, dan tentang hal-hal indah lainnya. Ternyata semua palsu!

Malam itu hujan jatuh dengan deras. Alam sepertinya memahami apa yang sedang dirasakan oleh Tiara. Air yang menepuk genteng seolah ingin meredam suara tangis Tiara yang tersedu dikamar. Malam begitu panjang. Mata indah itu tak pernah bisa terpejam hingga adzan subuh menjelang.

Oooo

Dua tahun berlalu. Kini Tiara menjadi guru agama di TK milik Yayasan Amanah di Purwokerto. Tiara pun telah mengubur kesedihan dan kekecewaan hatinya. Anak-anak yang lucu membuat hari-harinya dipenuhi dengan tawa. Ia kini bahagia. Kebahagian itu bertambah. Kala Jamal melamarnya. Jamal adalah guru bahas Inggris di SMP milik Yayasan. Jamal adalah laki-laki yang baik. Tutur bahasa dan sikapnya sangat sopan. Selain pintar bahasa Inggris, Jamal juga sangat menguasai bahasa Arab. Ia pun kerap menjadi imam di masjid, dilingkungan Yayasan. Membuat hati Tiara semakin mantap untuk menikah dengannya.

Waktu pernikahanpun telah ditentukan. Walinya adalah Ustad Iqbal. Dan Ibu Aisah yang telah membesarkannya dipanti adalah tempat Aisah memohon restu. Saat Tiara pulang ke Panti Asuhan. Ibu Aisah menangis terharu. Bayi yang serasa baru kemarin menangis digendongannya. Kini telah bersiap untuk menikah. Dipeluk eratnya Tiara. Di cium kening gadis itu. Seisi panti asuhan terlihat riang akan kabar pernikahan Tiara.

Minggu pagi selepas sholat subuh. Tiara melangkah pelan. Entahlah, kedua kakinya serasa mengajaknya keluar gerbang. Menuju taman kecil diseberang jalan. Perlahan matahari menyeruak. Cakrawala pun berubah jingga. Tiba-tiba memori Tiara seperti berputar kebelakang. Mencari-cari.

Matahari itu? Bunga mawar putih di samping ayunan? Burung yang terbang diantara pohon? Rumput taman yang berpeluh embun. Dan… Tupai itu? Tiara tersentak. Semua seperti pernah dilihatnya. Tiara merasa pernah berada diwaktu ini sebelumnya. Detil semua yang lihatnya begitu akrab. Ia pernah ada diwaktu ini. Tiara merasa dejavu. Otaknya bekerja keras membuka satu persatu lembaran masa lalunya. Ia terus mencoba mengingat.

Tiba-tiba HP-nya berdering. Sebuah suara terdengar. Tiara terlihat shock. Terdiam. Wajahnya memutih pasi. Ia mendapat kabar Jamal mengalami kecelakaan. Jamal bersama keluarga berniat silaturahmi ke Panti Asuhan. Hujan yang mengguyur Kebumen semalam, membuat jalan dari arah Gombong menjadi licin. Mobil yang dikendarai Jamal meleset keluar dari jalur kemudian menghamtam truk yang datang dari arah berlawanan.

Oooo

Di rumah sakit Tiara hanya bisa melihat Jamal dari kaca. Tubuh yang belum sadar itu kemudian dibawa oleh empat orang perawat ke ruang ICU. Setelah melewati pintu. Tiara tak bisa lagi melihat Jamal. Kegundahan  dan rasa cemas berkumpul menjadi satu. Kesedihan terlihat jelas dari genangan air dimatanya. Ibunda Jamal dan dua adiknya hanya mengalami lecet. Sementara sang Ayah yang duduk disamping Jamal tidak mengalami apa-pun.

Suasana rumah sakit yang tenang justru membuat perasaan Tiara makin mencekam. Hatinya tak berhenti berdebar. Ia terlihat berjalan tak menentu. Kakinya melangkah resah hingga melewati ruangan Dokter Feri. Sesaat kaki kanannya terhenti. Pintu ruang Dokter Feri sedikit terbuka. Ia berniat masuk. Tapi kemudian urung, saat melihat Ayah Jamal ada didalam. Dari celah pintu yang terbuka Tiara mendengar Pak Haji Abdul sedang berbicara serius dengan Dokter Feri.
“kemungkinannya bagaimana Dokter?” samar suara Ayah Jamal terdengar.
“berat Pak Haji..” balas Dokter Feri.
“pecahan kaca mobil telah merusak saraf optic kedua matanya. Jamal dipastikan mengalami kebutaan..” sambung Dokter Feri.

Tiara terdiam. Ia kembali shock. Namun, ia mencoba menahan diri agar tetap bisa mendengar perbincangan Dokter Feri dan calon mertuanya.
“satu-satunya cara menyelamatkan penglihatan Jamal adalah mencari donor mata..” Dokter Feri terdengar memberi solusi.
“tapi sangat sulit Pak Haji..”
“dari data yang ada, pendonor mata di Indonesia sangat langka..”
“tapi, bagaimana dengan Tiara dulu?” Pak Haji menatap serius Dokter Feri.
Dokter Feri terdiam. Suasana sejenak hening. Ia kemudian mendekat ke Pak Haji. Mengajak laki-laki separuh baya itu duduk di sofa yang ada didepan meja kerjanya. Membuat jarak mereka semakin dekat ke Tiara yang persis berdiri dibalik pintu yang berjarak tak lebih dari satu meter.

“Tiara beruntung. Ada orang yang berbaik hati. Orang itu kemudian mendonorkan kedua matanya untuk Tiara…”
Napas Tiara tertahan. Ia makin mendekatkan telinganya ke celah pintu yang terbuka.
“begitu mulia orang itu Dokter. Ia masih bisa berbuat baik walaupun sudah meninggal.” Pak Haji terpaku.
“orang yang mendonorkan mata untuk Tiara masih hidup Pak Haji..”
“hah? Masih hidup?” Pak Haji terpana menatap Dokter Feri.
“Fadil terkena leukemia. Disisa hidupnya. Dia ingin Tiara bisa melihat dunia..”

Brak! Tiba-tiba pintu terhempas tak kuasa menahan tubuh Tiara yang limbung. Dokter Feri dan Pak Haji Abdul tersentak kaget.
“Tiara!!!!” suara Dokter Feri dan Pak Haji serempak.
“jadi??? “
“mata ini..mata pemberian Fadil???” tangan tiara gemetar menujuk matanya.
Tiara terhuyung. Ia ambruk. Tubuhnya terjerembab dilantai.

Oooo

Jamal akhirnya mendapat donor mata. Ia kembali bisa melihat. Namun pernikahan Jamal dan Tiara tak pernah terlaksana. Hati Tiara telah menjadi beku. Untuk kemudian pecah berkeping. Belum sempat Tiara meminta maaf kepada Fadil. Leukemia itu ternyata membuat Fadil lebih dulu kembali keharibaan-Nya. Yang tersisa hanya penyesalan dan air mata yang takkan pernah habis.

Tiara memutuskan kembali ke Panti Asuhan. Membantu Ibu Aisah mengurus adik-adik. Tongkat pemberian Fadil sewaktu remaja dulu selalu digenggamannya. Tiara telah memutuskan. Memberikan kedua mata Fadil untuk Jamal. Ia baru menyadari. Bisa melihat dunia adalah anugerah. Tapi dunia juga membuat mata hatinya menjadi buta. Mata itu justru telah membuatnya melukai hati Fadil. Laki-laki yang begitu tulus mencintainya.

Rambut Tiara kini telah berubah putih. Setiap pagi selepas subuh. Dengan sisa-sisa tenaganya ia selalu berusaha berjalan menuju pojok dapur. Menghadap ke jendela dimana ia dan Fadil dulu sering duduk menyambut pagi. Hingga pagi dua hari lalu aku tak lagi melihatnya. Nenek Tiara telah menyusul Kakek Fadil. Tongkat pemberian kakek Fadil pun ikut dikubur bersamanya.

Selamat jalan nenek Tiara..


by r32