Fadil menarik napas dalam. Kembali ia harus menerima sesak di dada saat mengutarakan keinginan hatinya. Sudah kali ke tiga ia mengajak Tiara menikah. Tiga kali pula ia menelan jawaban pahit.
Dengan lunglai ia melangkah menjauh dari gerbang Panti Asuhan Amanah. Tempat ia dan Tiara dibesarkan. Tiara masih tinggal di Panti. Ia menjadi pengasuh bagi adik-adik disana. Sementara Fadil sudah dua tahun ini tinggal di sebuah rumah kos yang tak begitu jauh dari Panti Asuhan. Fadil bekerja di sebuah bengkel motor di dekat pasar Prembun.
Dua puluh tiga tahun yang lalu, Fadil dan Tiara untuk pertama kalinya bertemu di Panti Asuhan. Kedua orang tua Fadil sudah meninggal. Ia menjadi sebatang kara kala paman dan bibinya meninggal dalam kecelakaan. Sementara Tiara, sejak bayi tidak pernah tau siapa orang tuanya. Mereka kemudian dititipkan di Panti Asuhan Amanah. Sebuah panti asuhan yang tidak begitu besar di Desa Ungaran, Kecamatan Kutowinangun, Kabupaten Kebumen.
Di panti asuhan itu mereka tumbuh bersama hingga mereka dewasa. Tiara adalah tempat terbaik buat Fadil untuk berbagi. Saat hatinya sedih, hanya Tiara yang selalu menghiburnya. Bagi Tiara, Fadil adalah penuntun dan pelindung. Fadil lah orang pertama yang akan melindunginya kala anak-anak lain mengganggu. Mereka tak terpisahkan. Hingga perasaan mereka menjadi satu. Fadil menyayangi Tiara. Pun Tiara begitu mencintai Fadil. Namun, keinginan Fadil untuk menikahi Tiara selalu kandas. Karena satu keinginan Tiara yang membuat hati Fadil harus terpatahkan. Tiara akan menikah bila ia bisa melihat dunia yang indah.
Tiara mengalami kebutaan sedari bayi. Ada kelainan dikedua retina matanya. Kedua matanya tidak bisa merespon cahaya yang masuk. Sehingga semua bayangan tak pernah bisa diterima oleh matanya. Dunianya pun menjadi gelap.
Oooo
Dua bulan sudah Fadil tidak pernah datang ke Panti Asuhan. Ada kerinduan mendalam di hati Tiara. Kerinduan yang berdampingan dengan perasaan sesal. Ia menyadari, pertemuan terakhir telah membuat Fadil berduka. Ia tak menyangka, kali ini Fadil benar-benar menjauh. Fadil adalah cinta sejati bagi Tiara. Fadil lah yang selalu menggandengnya kemanapun ia melangkah. Fadil bak malaikat penunjuk jalan bagi tiara.
Di pagi yang dijatuhi gerimis, Tiara terdiam duduk menghadap jendela. Angin yang membaur dengan bintik hujan terasa dingin menyentuh kulitnya. Biasanya Fadil akan datang, untuk kemudian menutup jendela dan mengajaknya beranjak dari pojok ruang dapur Panti Asuhan itu. Kali ini Fadil tak datang. Hingga sebuah kabar gembira datang. Ibu Aisah kepala Panti Asuhan menerima telpon dari Dokter Feri. Doa yang selalu dipanjatkan Tiara akhirnya dikabulkan.
Dokter Feri akan mengoperasi mata Tiara. Semua biaya akan ditanggung oleh Bapak Haji Abdul pemilik Yayasan. Berita yang lalu disambut suka cita seluruh penghuni Panti. Tiara tak kuasa menahan haru. Ia akan segera bisa melihat dunia. Perasaan bahagia yang juga melahirkan rasa sedih. Sedih karena Fadil tak ada saat ia mendapat kabar indah ini. Fadil menghilang. Tak satupun penghuni Panti tahu keberadaannya. Fadil tak lagi bekerja di bengkel. Ia seperti pergi entah kemana. Tak ada yang melihatnya sejak dua bulan lalu.
Oooo
Satu bulan pasca operasi dan terapi. Mata Tiara akhirnya dinyatakan sembuh sempurna. Ia kini bisa melihat seisi bumi. Matahari yang bersinar, bunga yang beraneka warna, rumput yang menghijau, burung yang terbang. Semua menjadi anugerah yang indah bagi Tiara. Namun, sesampai di Panti Asuhan Tiara tak jua bertemu wajah yang selama ini hanya dikenali lewat suara. Fadil tak ada disana untuk menyambut kedatangannya dari Rumah Sakit.
Beberapa hari kemudian.
Keinginan kuat dihatinya untuk bertemu Fadil, membuat Tiara bertemu dengan Ustad Iqbal. Dialah satu-satunya harapan. Karena dulu Fadil sering datang ke Pesantren milik Ustad Iqbal untuk belajar mengaji.
Lepas dari pintu gerbang Pesantren, langkah Tiara yang rapat seketika terhenti. Saat sebuah suara yang kerap didengar menyebut namanya.
“Assalamualaikum Tiara..!”
“Walaikum salam..” sambut Tiara pelan sambil membalik badan.
“Alhamdulillah..Subbahanallah..Tiara sudah bisa melihat..” Usatd Iqbal mengucap syukur.
“Alhamdulillah Ustad..” Tiara tersenyum. Untuk kemudian mencium tangan Ustad Iqbal.
“Ada apa anakku?” Ustad Iqbal melihat kegundahan dalam diri Tiara. Dengan suaranya yang tenang. Ustad yang setiap jumat sore memberi pengajian di Panti Asuhan ini kemudian mempersilahkan Tiara masuk ke ruangan tamu.
Dari sorot mata Tiara, Ustad Iqbal bisa memahami apa yang diinginkan gadis yang sedari kecil dikenalnya itu. Ada perasaan gamang dihati Ustad Iqbal. Fadil pernah meminta kepadanya untuk tidak memberitahu dimana ia berada. Namun, keinginan kuat serta niat baik Tiara yang ingin meminta maaf dan mengajak Fadil menikah. Membuat Ustad Iqbal tak kuasa melawan niat baik Tiara.
Ia lalu mengajak Tiara menuju Mushola kecil bercat hijau yang ada di samping Pesantren. Bunga-bunga indah yang tumbuh memagari jalan setapak berbatu itu tak bisa mengalihkan sedikitpun pandangan Tiara. Ketidaksabaran terdengar dari langkahnya yang cepat. Samar Tiara mendengar alunan ayat-ayat suci Al Quran. Deg! Suara itu? Suara itu begitu dikenalnya. Tiara makin mempercepat langkah. Setengah berlari ia mendahului Ustad Iqbal.
Suara alunan ayat-ayat suci itu semakin merdu. Tiara bergegas mengambil wudhu, kesucian adalah syarat utama memasuki rumah Allah. Tiara tak ingin melanggarnya. Setelah berwudhu, ia berjalan pelan menuju pemilik suara indah itu. Semakin dekat. Serasa semakin bergemuruh jantungnya. Tiara terhenti satu langkah tepat dibelakang sosok yang dirindunya. Perasaan takjub!. Akhirnya ia bisa melihat orang yang sedari kecil selalu ada disampingnya itu.
“Fadiil!” suara Tiara penuh bergetar.
Suara lantunan dari sosok berbajuk koko putih itu terhenti. Ia diam tak beranjak. Ia tertunduk tak menoleh. Hingga akhirnya tangan Tiara menyentuh pundaknya.
“Faa fadil…!” suara Tiara sedikit terpatah.
Laki-laki itu kemudian perlahan beranjak. Tangannya terlihat meraba sesuatu, kemudian meraih tongkat yang tak jauh darinya. Penuh perjuangan ia akhirnya berdiri. Menghadap suara yang memanggil namanya.
“Tiara..?”
Deg! Jantung Tiara seperti berhenti berdetak. Wajahnya memucat. Mulutnya terkunci, tak mampu bergerak. Tangan Tiara kemudian menunjuk Fadil. Ia tak percaya! Ternyata Fadil adalah laki-laki buta sama dengannya dulu. Air matanya membuncah deras. Tiara menangis. Dadaknya sesak. Ia tak menyangka selama ini Fadil telah berbohong padanya. Yang ia tahu. Fadil adalah laki-laki dengan mata yang sempurna. Yang selalu menggambarkan keindahan dunia padanya.
Fadil pembohong. Fadil pendusta. Tangannya mengarah ke Fadil dengan pecahan air mata. Tiara kemudian berlari membawa tangis. Ia kecewa. Fadil yang sangat dipercaya. Begitu tega menghianatinya dengan cerita bohong tentang bunga yang mekar, tentang matahari yang jingga, tentang kupu-kupu yang berwarna, dan tentang hal-hal indah lainnya. Ternyata semua palsu!
Malam itu hujan jatuh dengan deras. Alam sepertinya memahami apa yang sedang dirasakan oleh Tiara. Air yang menepuk genteng seolah ingin meredam suara tangis Tiara yang tersedu dikamar. Malam begitu panjang. Mata indah itu tak pernah bisa terpejam hingga adzan subuh menjelang.
Oooo
Dua tahun berlalu. Kini Tiara menjadi guru agama di TK milik Yayasan Amanah di Purwokerto. Tiara pun telah mengubur kesedihan dan kekecewaan hatinya. Anak-anak yang lucu membuat hari-harinya dipenuhi dengan tawa. Ia kini bahagia. Kebahagian itu bertambah. Kala Jamal melamarnya. Jamal adalah guru bahas Inggris di SMP milik Yayasan. Jamal adalah laki-laki yang baik. Tutur bahasa dan sikapnya sangat sopan. Selain pintar bahasa Inggris, Jamal juga sangat menguasai bahasa Arab. Ia pun kerap menjadi imam di masjid, dilingkungan Yayasan. Membuat hati Tiara semakin mantap untuk menikah dengannya.
Waktu pernikahanpun telah ditentukan. Walinya adalah Ustad Iqbal. Dan Ibu Aisah yang telah membesarkannya dipanti adalah tempat Aisah memohon restu. Saat Tiara pulang ke Panti Asuhan. Ibu Aisah menangis terharu. Bayi yang serasa baru kemarin menangis digendongannya. Kini telah bersiap untuk menikah. Dipeluk eratnya Tiara. Di cium kening gadis itu. Seisi panti asuhan terlihat riang akan kabar pernikahan Tiara.
Minggu pagi selepas sholat subuh. Tiara melangkah pelan. Entahlah, kedua kakinya serasa mengajaknya keluar gerbang. Menuju taman kecil diseberang jalan. Perlahan matahari menyeruak. Cakrawala pun berubah jingga. Tiba-tiba memori Tiara seperti berputar kebelakang. Mencari-cari.
Matahari itu? Bunga mawar putih di samping ayunan? Burung yang terbang diantara pohon? Rumput taman yang berpeluh embun. Dan… Tupai itu? Tiara tersentak. Semua seperti pernah dilihatnya. Tiara merasa pernah berada diwaktu ini sebelumnya. Detil semua yang lihatnya begitu akrab. Ia pernah ada diwaktu ini. Tiara merasa dejavu. Otaknya bekerja keras membuka satu persatu lembaran masa lalunya. Ia terus mencoba mengingat.
Tiba-tiba HP-nya berdering. Sebuah suara terdengar. Tiara terlihat shock. Terdiam. Wajahnya memutih pasi. Ia mendapat kabar Jamal mengalami kecelakaan. Jamal bersama keluarga berniat silaturahmi ke Panti Asuhan. Hujan yang mengguyur Kebumen semalam, membuat jalan dari arah Gombong menjadi licin. Mobil yang dikendarai Jamal meleset keluar dari jalur kemudian menghamtam truk yang datang dari arah berlawanan.
Oooo
Di rumah sakit Tiara hanya bisa melihat Jamal dari kaca. Tubuh yang belum sadar itu kemudian dibawa oleh empat orang perawat ke ruang ICU. Setelah melewati pintu. Tiara tak bisa lagi melihat Jamal. Kegundahan dan rasa cemas berkumpul menjadi satu. Kesedihan terlihat jelas dari genangan air dimatanya. Ibunda Jamal dan dua adiknya hanya mengalami lecet. Sementara sang Ayah yang duduk disamping Jamal tidak mengalami apa-pun.
Suasana rumah sakit yang tenang justru membuat perasaan Tiara makin mencekam. Hatinya tak berhenti berdebar. Ia terlihat berjalan tak menentu. Kakinya melangkah resah hingga melewati ruangan Dokter Feri. Sesaat kaki kanannya terhenti. Pintu ruang Dokter Feri sedikit terbuka. Ia berniat masuk. Tapi kemudian urung, saat melihat Ayah Jamal ada didalam. Dari celah pintu yang terbuka Tiara mendengar Pak Haji Abdul sedang berbicara serius dengan Dokter Feri.
“kemungkinannya bagaimana Dokter?” samar suara Ayah Jamal terdengar.
“berat Pak Haji..” balas Dokter Feri.
“pecahan kaca mobil telah merusak saraf optic kedua matanya. Jamal dipastikan mengalami kebutaan..” sambung Dokter Feri.
Tiara terdiam. Ia kembali shock. Namun, ia mencoba menahan diri agar tetap bisa mendengar perbincangan Dokter Feri dan calon mertuanya.
“satu-satunya cara menyelamatkan penglihatan Jamal adalah mencari donor mata..” Dokter Feri terdengar memberi solusi.
“tapi sangat sulit Pak Haji..”
“dari data yang ada, pendonor mata di Indonesia sangat langka..”
“tapi, bagaimana dengan Tiara dulu?” Pak Haji menatap serius Dokter Feri.
Dokter Feri terdiam. Suasana sejenak hening. Ia kemudian mendekat ke Pak Haji. Mengajak laki-laki separuh baya itu duduk di sofa yang ada didepan meja kerjanya. Membuat jarak mereka semakin dekat ke Tiara yang persis berdiri dibalik pintu yang berjarak tak lebih dari satu meter.
“Tiara beruntung. Ada orang yang berbaik hati. Orang itu kemudian mendonorkan kedua matanya untuk Tiara…”
Napas Tiara tertahan. Ia makin mendekatkan telinganya ke celah pintu yang terbuka.
“begitu mulia orang itu Dokter. Ia masih bisa berbuat baik walaupun sudah meninggal.” Pak Haji terpaku.
“orang yang mendonorkan mata untuk Tiara masih hidup Pak Haji..”
“hah? Masih hidup?” Pak Haji terpana menatap Dokter Feri.
“Fadil terkena leukemia. Disisa hidupnya. Dia ingin Tiara bisa melihat dunia..”
Brak! Tiba-tiba pintu terhempas tak kuasa menahan tubuh Tiara yang limbung. Dokter Feri dan Pak Haji Abdul tersentak kaget.
“Tiara!!!!” suara Dokter Feri dan Pak Haji serempak.
“jadi??? “
“mata ini..mata pemberian Fadil???” tangan tiara gemetar menujuk matanya.
Tiara terhuyung. Ia ambruk. Tubuhnya terjerembab dilantai.
Oooo
Jamal akhirnya mendapat donor mata. Ia kembali bisa melihat. Namun pernikahan Jamal dan Tiara tak pernah terlaksana. Hati Tiara telah menjadi beku. Untuk kemudian pecah berkeping. Belum sempat Tiara meminta maaf kepada Fadil. Leukemia itu ternyata membuat Fadil lebih dulu kembali keharibaan-Nya. Yang tersisa hanya penyesalan dan air mata yang takkan pernah habis.
Tiara memutuskan kembali ke Panti Asuhan. Membantu Ibu Aisah mengurus adik-adik. Tongkat pemberian Fadil sewaktu remaja dulu selalu digenggamannya. Tiara telah memutuskan. Memberikan kedua mata Fadil untuk Jamal. Ia baru menyadari. Bisa melihat dunia adalah anugerah. Tapi dunia juga membuat mata hatinya menjadi buta. Mata itu justru telah membuatnya melukai hati Fadil. Laki-laki yang begitu tulus mencintainya.
Rambut Tiara kini telah berubah putih. Setiap pagi selepas subuh. Dengan sisa-sisa tenaganya ia selalu berusaha berjalan menuju pojok dapur. Menghadap ke jendela dimana ia dan Fadil dulu sering duduk menyambut pagi. Hingga pagi dua hari lalu aku tak lagi melihatnya. Nenek Tiara telah menyusul Kakek Fadil. Tongkat pemberian kakek Fadil pun ikut dikubur bersamanya.
Selamat jalan nenek Tiara..
by r32