Jumat, 27 Januari 2012

Menjemput Surga


Senin,22 Nov'10

Sore yang berhujan, jarum masih terpaku di angka lima. Dengan penuh kelembutan kain putih itu kau lipat. Sesaat kemudian menaruhnya di kursi panjang di samping pintu depan. Perlahan kau bergerak ke teras, untuk kemudian duduk di kursi bambu kesukaanmu. Entah apa yang ada dipikiranmu, namun sorot matamu menggambarkan ketidaksabaranmu menunggu panggilan yang setiap menjelang pergantian malam selalu kau nanti.

Hujan perlahan tertahan, satu dua air yang jatuh menapuk genteng membuatmu tergerak masuk kedalam rumah. Tak lama kemudian wajahmu keluar sambil menjijing payung yang kuberi beberapa waktu yang lalu. Di depan pintu kau terlihat tegak terpaku, menatap penuh keresahan saat melihat tanah yang tergenang. Dan kau pun kembali duduk di kursi bambu kesukaanmu. Kau rebahkan punggungmu di sandaran kursi  yang setia menahanmu. Tatapanmu sedikit terdongak. Raut wajamu menandakan garis-garis kehidupan yang telah engkau lalui. Beberapa helai hitam rambut sekilas menghiasi warna putih yang sudah menutupi semua rambut yang masih tertahan melekat dikepalamu.

17.15
Rintik hujan masih terdengar samar membelai genteng. Kau tersenyum, saat si putih (kalo aku menamainya Snow white) mendekat untuk kemudian mengusap-usapkan kepalanya di kakimu. Tak kalah kemudian si hitam meloncat naik untuk duduk  di sampingmu. Mereka begitu setia mengikuti kemana langkah mu terayun. Merekalah yang membuat kau tertawa, tersenyum bahkan sekali-kali mengomel saat mereka mengacaukan dapur.

17.20
Kau masih terduduk di kursi bambu kesukaanmu, ditemani dua kucing kesayangan. Tatapanmu kosong. Raut yang tertutup garis-garis usia menujukan betapa tidak mudah hidup yang kau jalani.
Terbayang dibenakku, 50 tahun yang lalu. Saat bayi perempuan cantik yang lahir dari rahimmu. Saat itulah surga mulai diletakkan di telapak kakimu. Bayi perempuan yang di usianya kurang lebih 23 tahun kemudian juga diletakkan surga di bawah kakinya  saat ia melahirkan seorang bayi perempuan yang dua tahun lebih dulu lahir sebelum aku.
Entah apa yang ada dibenakmu, saat teringat bayi perempuan yang kau lahirkan 50 tahun yang lalu. Yang ternyata lebih dulu berpulang kepada –Nya. Padahal aku sangat tahu, seandainya bisa, kau akan meminta pada-Nya “kenapa bukan aku yang Kau ambil lebih dulu?” dan meminta pada-Nya agar dirimu menjadi penggantinya. Tanpa sadar air mata berlinang di mataku. Mengingat perempuan yang terlahir dari rahimmu itu adalah perempuan lembut yang melahirkan aku.

17.30
Denyit kursi bambu terdengar saat kau mengangkat tubuhmu yang renta. Dengan sisa-sisa tenaga kau tapakkan satu demi satu langkah membelah genangan air bekas hujan yang tertahan di tanah. Tangan kananmu memegang erat payung merah, sementara tangan kirimu menjepit kain putih yang terlipat rapi sambil menjinjing kain batik yang melingkar menutup kakimu, agar  terhindar dari air yang terloncat saat kau melangkah. Ayunan yang tertatih tapi penuh kepastian menuju tempat panggilan yang kau rindu sedari tadi. Di belakangmu si hitam meloncat-loncat mengikuti gerak langkahmu sambil menghindari gemercik genangan air yang tercipta saat langkahmu jatuh. Snow white seperti biasa hanya menghantarmu dari teras lewat tatapan matanya.

17.40
Panggilan itu sudah menggema lalu menghilang berganti dengan kidung-kidung pujian. Si hitam mengambil tempat di pojok teras tempat panggilan itu berasal, lalu duduk. Matanya bergerak mengikuti langkahmu. Kau berhenti. Menunduk, melepaskan kakimu dari sandal jepit warna hijau yang telah pudar, menjinjingnya, untuk kemudian membasuhnya setelah kau membersihkan kakimu.
Kau lalu melipat lengan kebaya di kedua tanganmu. Menegadah sesaat, sambil berucap dalam hati. Sekejap lalu menyucikan wajah, tangan, rambut, kuping dan kaki. Setelah itu bergabung dibarisan serba putih disamping kiri. Barisan itu sudah berkurang satu,  sejak sebulan yang lalu, saat nini sirol salah satu teman di usia senjamu berpulang kepangkuan-Nya. Entah kapan giliranmu. Tapi aku tahu, dan sangat tahu. Kapanpun itu, kau tak pernah peduli. Karena di usia rentamu kau tak pernah berhenti untuk menambah cintamu pada-Nya, menumpuk rindu untuk-Nya. Di sisa-sisa waktumu kau selalu resah menunggu waktu untuk bertemu dan bersujud dirumah-Nya. Langgar kecil itu telah puluhan tahun menjadi saksi, bahwa kau sang Nenek-ku tercinta dengan tubuh yang renta dan langkah-langkah yang sangat rapuh sedang membangun jembatan untuk menjemput surga…

Love u nek..!

r32.pete

Tidak ada komentar:

Posting Komentar